Target zero carbon jadi komitmen banyak negara untuk menghadapi krisis iklim. Namun, kesiapan dunia masih dipertanyakan. Tantangan finansial, politik, hingga sosial membuat transisi ini jauh lebih sulit daripada sekadar janji di atas kertas.
Negara maju seperti Uni Eropa dan Jepang sudah memimpin dengan kebijakan ketat. Mereka berinvestasi besar di energi terbarukan, membangun infrastruktur hijau, dan memberi insentif pada industri. Namun, negara berkembang menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi dan tuntutan keberlanjutan.
Beban utama ada pada sektor energi. Batu bara dan minyak masih jadi sumber utama listrik di banyak negara. Transisi ke energi bersih berarti penutupan industri besar dan jutaan pekerja harus beralih profesi.
Selain itu, biaya sangat tinggi. Bank Dunia memperkirakan transisi global ke zero carbon butuh triliunan dolar. Tanpa pendanaan internasional yang adil, negara miskin akan tertinggal jauh.
Tekanan publik semakin besar. Aktivis muda menuntut langkah nyata, sementara bencana iklim yang makin sering menjadi pengingat keras.
Namun, ada juga skeptisisme. Banyak kebijakan hanya jadi jargon politik, tanpa implementasi serius. Beberapa negara bahkan masih memberi subsidi energi fosil sambil berbicara tentang energi hijau.
Zero carbon bukan hanya tantangan teknologi, tapi juga ujian keadilan global. Negara kaya harus membantu negara miskin agar transisi berjalan merata.
Apakah dunia siap? Jawaban akhirnya akan terlihat d